Pemudapost – Sejarah perilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia sudah dimulai sejak pra-kemerdekaan Indonesia, dan hal tersebut masih terus berlanjut pasca-kemerdekaan hingga sampai saat ini, pelaku KNN seakan semakin mengakar pada setiap warganya, dimulai dari pejabat negara sampai pengusaha dan bisa saja juga sudah menjangkiti rakyat biasa. Sungguh sangat ironi kemudian jika hal ini masih terus berlanjut hingga kini yang akibatnya bukan hanya merugikan Negara, melainkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kedepan.
Dari beberapa catatan penting mengenai sejarah korupsi pra-kemerdekaan mengenai kehancuran kerajaan-kerajaan besar di bumi nusantara salah satunya disebabkan perilaku tokoh elite kerajaan saat itu, focus dalam penelitian sejarah kebanyakan bercerita pada aspek politik, bukan pada aspek ekonomi seperti usaha memperkaya diri sendiri dan kerabat kaum bangsawan sehingga merugikan keuangan kerajaan saat itu.
Seiring dengan datangnya Belanda dalam penjajahannya di bumi nusantara turut membentuk budaya korupsi. Buku dengan judul History of Java, karya Rafles (1816)menyebutkan karakter orang jawa sangat "nrimo" atau pasrah pada keadaan, namun memiliki keinginan untuk dihargai orang lain, tidak terus terang, menyembunyikan persoalan dan oportunis. Bangsawan Jawa gemar menumpuk harta, memelihara abdi dalem untuk kepuasan karena diharapkan memberi sanjungan. Budaya Jawa yang demikian akhirnya menimbulkan “budaya korup” dan bahkan pegawai VOC yang bergaji relatif kecil pada saat itu juga menyebabkan suburnya budaya korupsi. Pada tahun 1799 asosiasi dagang VOC (Verenigde Ost Indische Compagnie) dipelesetkan menjadi Verhaan Onder Corruptie, dan hal tersebut runtuh lantaran korupsi didalamnya.
Berlanjut pada periode pasca-kemerdekaan pada masa kepemimpinan Soekarno, korupsi tetap merajalela meskipun negara RI baru merdeka dan belum stabil dalam beberapa aspek seperti kondisi Politik, Ekonomi dan Kebijakan dalam maupun luar Negeri. Pada masa tersebut ada dua badan yang dibentuk untuk memberantas korupsi diantaranya; Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) dan Operasi Budhi (OB). PARAN mengalami kebuntuan, karena semua pejabat tinggi saat itu dianggap berlindung di bawah ketiak Presiden. Kemudian tahun 1963 dikeluarkan Kepres no. 275 tahun 1963 yang dikenal dengan nama OB, yang dalam waktu 3 bulan berhasil menyelamatkan miliaran uang Negara, untuk ukuran uang waktu itu yang jumlanya begitu fantastis. Namun operasi ini pun akhirnya gagal, karena dianggap nyerempet Presiden. Misalnya kedok untuk menghindari pemeriksaan pada waktu itu, Direktur Utama (Dirut) Pertamina meminta ijin kepada Presiden untuk pergi ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan alasan belum ada ijin dari atasan.
Pada masa Orde Baru (Orba), dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) sebagai tindak lanjut dari pidato Penanggung Jawab (Pj) Presiden Soeharto di depan DPR/MPR pada 16 Agustus 1967. karena selalu gagal, bagaikan macan ompong maka dibentuk Operasi tertib (Opstib) yang dikomandani oleh Soedomo. Namun kedua lembaga tersebut selalu gagal, sehingga Opstib bagaikan hilang ditelan bumi tanpa bekas sama sekali.
Pada masa reformasi, berbagai lembaga telah dibentuk untuk memberantas korupsi. Korupsi yang pada jaman orde baru hanya melingkar di pusat kalangan elit penguasa, namun dengan adanya Desentralisasi maka semua lini pemerintahan dimulai dari pemerintah pusat, daerah sampai desa/kelurahan terjangkiti virus korupsi. Sekala korupsi menjalar ke setiap sendi-sendi kehidupan bangsa dan warga negara.
Usaha pemberantasan korupsi pada jaman Presiden B.J. Habibie, K.H. Abdur Rahman Wahid atau dikenal dengan sebutan Gusdur, Megawati Soekarno Putri dan Susilo Bambang Yudoyono. Berbagai peraturan dan badan atau lembaga dibentuk, diantaranya; Komisi Penyelidik Kekakayaan penyelenggara Negara (KPKPN), Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Ombudsman, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), Badan Pengawasan Keuangangan (BPK), (PPATK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari semua lembaga tersebut masih belum mampu optimal memberantas korupsi. Pada dasarnya keseriusan pemerintah memberantas KKN masih patut untuk dipertanyakan. Tampak secara terang dan jelas, pemerintah selalu bermain-main dengan cara melindungi para konglomerat dan orang-orang kuat yang oleh Deny Indrayana disebut epicentrum korupsi, yaitu : istana, cendana, senjata, dan pengusaha naga.
Banyak indikasi yang menyebutkan bahwa faktor daya dorong (driving force) terhadap budaya korupsi selalu berhubungan dengan usaha pemuasan fasilitas kehidupan yang hedonistik, yaitu usaha pemenuhan kepuasan nafsu terhadap harta, tahta dan wanita, disebut "tiga-ta". Terbentuknya perilaku korupsi (corruption behavior) dapat dijelaskan dengan teori psikoanalisis dari Sigmun Freud. Apabila keinginan dasar manusia yang begitu liar (wild) terhadap "tiga-ta" sebagai bentuk daya dorong terlalu kuat disebut "id" dan tidak terkendali oleh "ego", maka dalam diri manusia muncul "super ego" berupa perilaku korupsi yang tidak terkendali. Budaya korupsi adalah hasil akumulatif "super ego" dalam pemenuhan hedonistik yang tidak wajar, berlebihan serta tidak terkendali.
Statement yang sering terdengar adalah korupsi telah mendarah daging, mengakar dan membudaya di republik tercinta ini. Repotnya adalah jika ada urusan yang berkaitan dengan birokrasi, saat ini orang menjadi lazim untuk memberi "sesuatu".. Padahal instansi tersebut benar=benar tidak meminta "sesuatu". Karena perilaku korupsi sudah menjadi "budaya", orang atau instansi yang mencoba untuk "bersih" justru dianggap aneh. . Salah kaprah ini juga dapat menjadi daya dorong terjadinya korupsi.
Pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah "Apakah benar korupsi telah membudaya di negeri ini?". Meminjam istilah Edgard H. Schein, bahwa "budaya" didefinisikan yang pada intinya, budaya adalah asumsi dasar yang diketahui secara bersama-sama dan dianggap benar secara internal maupun eksternal sehingga perlu diteruskan kepada anggota masyarakat baru atau generasi berikutnya. Melihat batasan budaya tersebut, perilaku korupsi di Indonesia dapat dikatakan sebagai telah "membudaya". Secara umum banyak perilaku korupsi yang sudah diasumsikan secara bersama-sama "benar" dan "lazim". Jika tidak mengikuti arus perilaku korupsi, bahkan kita dianggap "naif" dan tidak wajar atau aneh. Lebih sadis lagi kita dapat dianggap ketinggalan jaman dan tidak modern.
Oleh: A. Fikri Ali
Review This Product