“Kamu mau mencongkel mataku?” kataku sedikit kasar.
“Apa?” jawabnya seolah-olah terjekut.
“Kamu mau mencongkel mataku?” kataku lagi.
“Apa maksudmu, aku tidak mengerti”
“Sungguh! Kamu tidak mengerti sama sekali?”
“Iya.” jawabnya santai, seolah-olah tidak ada apa-apa.
“Sudahlah, susah memang mengajak orang yang hatinya sudah menjadi batu. Sampai mulutku berbusa pun, kamu tidak akan pernah mengerti.” suasana menjadi bisu, sebisu mulutku yang kaku. Hanya sepi menjadi hiasan diantara kami. Sesekali saling menatap lalu melemparnya lagi ke bumi.
Semestinya suasana pagi hari di Taman Kota Banuaju itu lebih sejuk dari pada tinggal di dalam rumah. Mungkin, tidak dengan suasana hatiku. Hatiku gersang. Penuh bebatuan yang sulit kujalani. Sementara angan-anganku mulai terbang melayang seperti burung terbang di atas awan.
“Siapa yang bilang bosan denganmu” jawabnya ketus.
“Kenapa dari tadi hanya diam saja. Tidak biasanya kamu begini”
“Aku takut”
“Takut kenapa?”
“Aku takut”
“Takut kenapa?”
“Pokoknya aku takut. Jangan paksa aku untuk bicara. Aku benar-benar takut.” jawabnya mulai sedikit membuatku penasaran. Kami pun seperti yang tadi. Hanya diam dan saling menatap.
“Kenapa harus takut, Sayang?”
“Aku takut kamu marah lagi. Saat dulu, ketika aku tertangkap basah dan ketahuan selingkuh. Aku benar-benar takut sekali kalau kamu akan marah-marah lalu membentakku”
“Coba lihat wajahku, tatap mataku. Apakah aku menyeramkan sehingga membuatmu takut.”
“Tidak.”
“Terus kenapa?”
“Akh... sudahlah. Ini yang tidak aku suka darimu. Selalu memaksaku untuk menuruti semua keinginanmu. Selalu bawel dari dulu” aku memilih diam saat mendengar kata-katanya.
***
Sesekali, kami saling menatap lalu melemparnya lagi ke bumi. Sementara di sekitar kami orang-orang mulai berdatangan. Ada yang mau jualan, ada lagi yang hanya duduk berdua bersama pasangannya. Tidak hanya itu, anak kecil yang lagi bermain di taman menjadi pemandangan yang menyenangkan.
Kembali kutatap kedua bola matanya. Pelan-pelan kuamati sikapnya yang mulai beku. Sementara tanganku mulai memegangi tangannya. Tangannya terasa dingin dan kaku. Matanya sedikit layu. Aku merasa ada yang berbeda. Karena tidak biasanya dia bersikap begitu saat bertemu denganku. Aku melihat ketakutan di kedua bola matanya yang mulai sembab. Barangkali, takut aku akan memarahinya lagi seperti dulu.
Sebenarnya, kami menjalin hubungan sejak dia sudah lulus satu tahun dari bangku SMA. Kami sama-sama berasal dari satu kota.Saat itu, aku sudah kuliah sementara dia masih belum dan baru tahun ini dia mendaftar lagi untuk ikut seleksi masuk di kampus yang diinginkan. Seharusnya dia sudah menikmati bangku kuliahnya. Waktu pengumuman pelulusan kemarin ternyata tidak lulus dan akhirnya memutuskan untuk kuliah tahun berikutnya.
Seperti waktu terus berlalu. Hubungan kami pun begitu. Hari-hari kami lewati bersama. Sesekali kadang bertemu ketika ada pameran atau acara-acara yang di gelar di kota kami termasuk saat ada pameran. Hubungan ini tetap seperti yang dulu, utuh saat kami baru pacaran. Penuh romantis dan canda tawa bersama.
Waktu yang kami lewati tak terasa mengantarkan pada usia hubungan kami mencapai hampir dua tahun. Tepatnya sebelum satu bulan di hari ulang tahunnya. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk mencoba mendaftar kembali. Walau awalnya, hampir putus asa karena gagal diterima.
Dua bulan setelah mendaftar ternyata dia diterima. Aku melihatnya begitu bahagia karena dia lulus dan akan menjadi mahasiswi. Lalu segala persiapan dan peralatan mengenai keperluan kampus dan kosnya sudah mulai di persiapkan. Hari-harinya mulai disibukkan dengan menentukan jadwal berangkatnya sekaligus mencari info lowongan kos.
Aku menemaninya belanja untuk segala keperluan kosnya di sebuah Indomart dekat rumahnya. Saat belanja, kita seolah-seolah kayak suami istri. Kemana-kemana berdua sambil lalu membawa tempat belanja. Kamu tahu tidak kenapa aku berkata begitu? Karena waktu itu, aku yang membawa tempat keranjang sementara dia yang memilih barang-barang yang ingin dibeli. Hingga pada akhirnya belanja pun selesai dan kami pulang. Sebelah timur rumahnya, itulah menjadi pertemuan terakhir kami karena malam harinya dia akan berangkat.
***
“Kamu kenapa takut?” tanyaku membuka perbicaan yang tadi sempat beku. Sementara dia tetap diam dan tak berucap apa pun. Kecuali tangannya semakin erat memegangi tanganku. Tiba-tiba dia mulai memelukku seerat dia memegang tanganku.
“Kamu kenapa? seperti maling yang di kejar orang-orang karena ketahuan mencuri saja” tanyaku kembali.
“Kamu memaksaku untuk bicara?” jawabnya pelan dan suaranya kecil lalu tiba-tiba menangis di pelukanku.
“Kenapa sekarang kamu jadi menangis. Apa aku kelihatan sangat menakutkan di matamu?” lalu aku memilih diam dan tak berkata-kata lagi. Tangan yang tadi di pegang erat kembali kulepas lalu kubalut airmatanya.
Aku membiarkan dia tetap memelukku. Hatiku mulai rapuh dan tak tega rasanya melihat dia menangis. Aku bingung. Sebab, dulu aku pernah berjanji untuk tidak akan marah-marah lagi apalagi membentaknya. Aku tidak ingin melihat airmatanya jatuh kembali karena emosiku. Karena airmata yang jatuh itu bagiku simbol dari kesedihan seseeorang. Dan aku tidak ingin melihat dia terluka atau sedih karena sikapku.
Sejak ketahuan dia selingkuh dengan lelaki lain. Aku benar-benar marah dan membentaknya hingga satu kata pun tak terucap kecuali tangisan yang kudengar. Kejadian itu, benar-benar membuatku sadar bahwa mencintai harus dengan setulus hati. Semenjak itulah, aku tak punya waktu untuk mencurigainya lagi apalagi berpikir dia akan berselingkuh. Dalam pikiranku yang ada hanyalah bagaimana membuatnya bahagia saat bersamaku. Itu saja.
“Kamu masih bahagia kan bersamaku?” kembali kubuka percakapan ini sambil lalu menatap wajahnya yang dari tadi menangis.
“Iya, aku masih bahagia bersamamu” sahutnya.
“Kenapa dari tadi hanya diam saja. Ketika kutanya kenapa takut, kamu malah bilang aku memaksamu untuk bicara dan ketika aku tanya lagi kamu malah menangis. Ada yang salah atau aku terlalu kasar cara berbicara?”
“Aku takut kamu akan membentakku lagi sama seperti dulu saat aku ketahuan selingkuh”
“Kamu begitu baik. Aku tak pantas untuk terus bersamamu. Kamu pantas memiliki perempuan yang lebih baik dan lebih cantik dariku”
“Maksudmu apa bilang begitu?”
“Tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya tidak ingin kamu terluka lagi”
Aku terdiam sambil lalu berpikir maksud dari perkataannya. Dia pun diam dan tiba-tiba melepaskan pelukannya. Aku membiarkannya diam lalu menatap wajahku dan kembali memegang erat tanganku.
“Jika aku berselingkuh lagi, kamu akan marah dan membentakku?” celetus pertanyaanya membuatku semakin heran.
“Kamu sedang selingkuh, sayangku?” tanyaku.
“Akh...” jawabnya singkat.
“Aku tidak mungkin marah lagi. Karena melihat airmatamu yang jatuh hanya membuatku semakin sedih. Jika begitu, kamu tidak merasakan kasih sayangku melainkan kegelisahan karena sering membentakmu. Aku tidak ingin begitu apalagi kepada kekasihku. Sekarang jujurlah, sebenarnya ada apa?”
“Kamu itu begitu baik. Aku merasa kamu berhak mendapatkan yang lebih baik dariku.”
“Aku cuma berharap, dari hubungan ini kita saling belajar memperbaiki. Aku khawatir saja, karena jarak hatimu bisa melupakanku.” sahutku.
“Iya” jawabnya singkat sambil menganggukkan kepala.
“Sebenarnya apa yang sedang kamu takutkan dariku?”
“Aku” bibirnya bergetar lalu dia memilih diam tak meneruskan pembicaaraanya
***
“Aku kenapa,” tanyaku lagi
“Aku ingin jujur satu hal kepadamu. Aku minta maaf telah membuatmu kecewa yang kedua kalinya atau bahkan mungkin berkali-kali. Sebenarnya, aku lagi punya hubungan sama seseorang. Aku tidak pacaran dengannya. Tapi, kedekatanku dengannya sama seperti hubungan kita”
“Terus,” mataku mulai kedipan dan nafasku mulai tidak karuan.
“Kamu boleh mencari perempuan yang lebih baik dariku. Aku merasa tidak pantas lagi bersamamu. Kamu begitu baik dan aku mendustaimu,”
“Oh... maksudmu, kamu menyuruhku untuk pergi dari hidupmu?” sahutku. Setelah itu sampah-sampah mulai berceceran di sekitarku. Orang-orang dengan bahagianya bermain catur di belakangku dan aku tersenyum melihat permainan mereka.
Jogja, 2015
Mawardi Stiawan, Lahir di desa Banuaju Barat Batang-Batang Sumenep. Lulusan dari Yayasan Taufiqurran dan PP. Annuqyah kemudian melanjutkan pendidikannya di Kota Malang. Karya-karyanya dimuat di Radar Malang, Malang Post, Radar Madura, Kabar Madura, Buletin Sidogiri dll.
+ komentar + 2 komentar
good.... trs dipupuk kreatvitasnya
Terima kasih atas komentar membangunnya. Semoga tetap berkarya selamanya. Amin.
Review This Product