Oleh: Latif Fianto el Fath*
Biarkan kuraba hatiku kembali. Menatap hening serpihan rasa yang pernah bersemi. Sebab, selepas pertemuan terakhir di Bambu Town, aku sering menemukan wajahnya diantara kenangan yang tercecer. Meletakkan khayalku diantara kenyataan dan angan yang mustahil.
Mawar duduk sangat tenang diantara Rohma dan Fira. Wajahnya yang salju senada dengan kerudungnya yang melati. Sesekali ia memainkan bibirnya yang semerah namanya. Seperti dulu saat masih sering bertemu, ia tak jarang menatapku. Aku hanya tersenyum dalam senyap. Diam-diam aku mulai menyukai tatapan tajamnya.
Sore ini, di sebuah pesta sederhana seorang teman, di bawah senja yang jingga, ia tak menyadari bahwa aku menatapnya. Bukan di tengah kota, tapi di pinggir sawah yang menggoda. Tanah masih basah selepas hujan yang mengguyur deras. Sisa-sisa air menembus alas duduk yang sudah lapuk termakan usia. Beberapa bolongan terlihat semakin membesar. Seperti perasaanku yang semakin mekar.
Tadi siang, Ihsan membangunkanku dari tidur siang yang nyenyak. Beberapa kali mengguncang tubuhku. Katanya, aku tak juga bangun. Seperti orang mati yang sudah berbulan-bulan disemayamkan.
Sekali aku bangun, mulutnya menyeringai.
“Ada apa? Kau merampas kebahagiaanku.”
“Kebahagiaan apa?” katanya menggaruk kepala.
“Aku baru bermimpi dengan Dewi Shinta, tokoh dalam pewayangan Sri Rama. Ia baru saja menarikku ke dalam selimutnya yang wangi. Tapi kau sudah membangunkanku. Ah, kau kejam sekali!”
“I’m so sorry. Aku tak bermaksud begitu. Tapi ada hal yang harus kukatakan padamu.”
“Tentang apa? Jangan bilang kau menyukaiku?”
“Kau terlalu percaya diri. Tell you what, Rohma, Alif dan Itmam ulang tahun. Kita mau membuat pesta kecil untuk mereka.”
“Apalah arti sebuah pesta ulang tahun?”
“Ini bukan masalah pesta, tapi tentang kebahagiaan. Jika kita membuat seseorang bahagia hari ini, berarti kita membuat orang itu bahagia dua puluh tahun dari sekarang, saat ia mengingat kejadian itu.”
“Bukankah itu perkataan Sidney Smith?”
“Benar. Aku mengutip dari pidatomu dua minggu yang lalu.”
“Hati-hati perilaku menjiplak. Setiap karya memiliki hak cipta. Jadi, dimana kita akan menggelar pesta?”
“Di warung ketan.”
“Dimana itu?”
“Kau belum tahu ketenaran warung ketan? Kemana saja empat bulan di Pare kau tak tahu tempat itu?”
“Kau tahulah, aku anak rumahan. Aku pemimpi yang setiap hari berselimut sepi. Menanti kedatangan seorang kekasih. Waited and waited, but nothing happens!”
“Tempatnya di pinggiran sawah yang indah. Tak layak disebut kafe sih, tapi cukup indah untuk merajut senyum. Jangan bilang pada ketiga nama yang kusebut tadi. Kita hendak bikin kejutan besar. Dan kejutan tentu tak terbongkar sebelum waktunya.”
“Baiklah!”
Ihsan pergi. Kulanjutkan tidurku. Di luar, hujan masih deras mengguyur. Berkabut menebar dingin memeluk tubuh. Untung hujan, jadi aku tak perlu menghidupkan kipas angin. Bukan milikku, tapi milik Afif. Si Uncle gaul di camp kami yang berdiri kokoh di pinggir jalan Anyelir. Dindingnya berwarna hijau, sehijau wajah kampungku di musim hujan.
Jika hujan tak turun, aku menyalakan kipas angin sepanjang hari dan malam. Pare semacam kota yang berada dua jengkal di bawah matahari. Macam berjalan di gurun sahara. Macam berada di garis terluar dari neraka. Panasnya terik menyengat ubun-ubun. Semacam jagung-jagung muda yang direbus dalam tungku yang mendidih.
Namun, sore ini langit benar-benar indah. Matahari tak muncul. Langit masih berselimut awan hitam. Semacam mendung tapi tak hendak turun hujan. Di ufuk barat, separuh dari langit yang melengkung, samar-samar warna jingga memantul. Orang-orang yang melihatnya dari kacamata seni pasti akan berujar, itu langit yang indah.
Tapi tak kusangka, teman-teman yang melihatnya dengan mata telanjang juga terpesona. Bahkan kami lupa memesan minuman dan ketan keju. Mereka bilang lezatnya mengalahkan fried chicken dan french fries. Alif hanya menuliskan pesanan kami pada sobekan bungkus rokok. Lalu ia melemparnya ke langit.
“I am so sorry! We’ve sold out.” Alif menirukan kata-kata seorang pelayan yang ia temui di meja kasir.
Kami berkumpul di atas bumi yang sejuk. Di bawah atap langit yang indah. Sesekali angin senja yang sepoi membelai wajah dan tubuh kami.
“Emak sedikit kesal karena tak diajak. Sebenarnya mau ikut, tapi terlalu mendadak kita memberitahunya.” seseorang berujar.
Aku tak tahu siapa yang bersuara. Aku menunduk menenggelamkan perasaan. Tak sanggup menatap mata Mawar yang elang. Agar detak jantung tak semakin bertalu riang. Bagaimana jadinya, jika teman-teman mengetahui bahwa I got butterflies in my stomach. Pasti pikiran mereka macam detektif Conan. Atau mendadak menjelma detektif Nobita. Mencari-cari siapa gerangan perempuan yang diam-diam aku kagumi. Cukuplah aku dan Tuhan yang tahu.
Aku duduk membelakangi kiblat. Menatap badan sawah yang ditumbuhi padi. Alam yang anggun. Seanggun tatapannya yang tajam. Aku terperangkap di dalamnya. Perasaan macam apakah ini? Macam sepotong roti yang diolesi madu. Macam kembang yang mekar menatap awan. Mungkinkah sepotong hati telah kembali?
Ihsan dan Pipit datang membawa kotak berwarna terang. Serentak lagu Happy Birthday bersenandung. Diikuti tepuk tangan yang meriah. Rohma tersenyum. Senyum yang indah. Berpadu dengan parasnya yang mempesona. Eits, yang lain tak usah cemburu! Akan ada waktunya seseorang mengatakan; kau cantik sekali di mataku.
Ihsan meletakkan kotak itu di tengah kami yang duduk bersila. Mawar mengambil tiga buah lilin dari tangan Fira. Memberikannya pada Rohma, Alif dan juga Itmam. Mulailah lilin itu dinyalakan. Tapi tak pernah awet karena angin buru-buru meniupnya. Beberapa kali dicoba, tetap saja angin lebih agresif daripada tangan kami yang hendak melindungi. Akhirnya kami luruh dalam tawa. Tanpa nyala lilin pun pesta kecil ini tak kan gagal mencipta senyum di bibir mereka bertiga.
Pipit mengeluarkan kamera mungil dari saku jaket. Ia mengabadikan wajah Rohma, Alif dan Itmam yang merapal doa. Menengadah meminta Tuhan berkenan menaruh bulan di kedua telapak tangannya. Ia juga tak lupa mengabadikan wajah teman-teman yang sudah sering tertangkap lensa kamera. Ia semakin mahir pula membuat cerita berbahasa asing.
Laiyaknya sebuah keluarga, selalu menemukan kehangatan saat bersama. Sayangnya, tak ada cukup waktu untuk selalu merajut kebersamaan itu. Kewajiban dan tugas yang lain terasa lebih penting untuk segera diselesaikan. Ada yang kembali ke pelukan kampungnya. Ada yang merengsek pindah ke kota yang baru. Ada juga yang bingung hendak kemana membawa tubuh. Namun, di setiap sujud, doa selalu terucap; semoga tak ada yang terlupakan. Semoga nama selalu di hati. Semoga senyum bersama kami.
Mataku menyisir satu persatu. Tak banyak yang berubah. Kecuali satu, jumlah teman-teman yang berkumpul semakin sedikit. Dewi, Dwi, Sayenti dan Musfia. Empat perempuan hebat yang kebersamaannya tak lekang oleh waktu. Selalu ada alasan untuk hang around bersama. Meski hanya sekadar nongkrong di warung ketan. Bahkan sengaja mengosongkan perut untuk persiapan makan bersama di suatu malam yang indah. Tapi alam kadang tak bersahabat. Hujan menguji keteguhan hati mereka.
Rohma, Mawar dan Fira, seperti biasa selalu bersama. Rohma ingin membuat kejutan di pelajaran New Concept. Ia bertanya tentang bagaimana membuat kesimpulan yang mempesona. Aku perlu memberinya dua jempol. Yang mengejutkan, Mawar semakin menyala di mataku. Lenguhan nafasnya mencipta ritme senandung rindu.
Aku berani bertaruh, mereka adalah para perempuan yang siap melahirkan generasi terbaik untuk bangsa. Mereka sama hebatnya dengan lima perempuan yang aku sebutkan lebih dulu. Tanamlah dalam-dalam! Di balik kesuksesan seorang pria, selalu ada perempuan hebat yang mendampinginya.
Dan inilah calon pria sukses itu! Afif, Usep, Itmam, Affany, Dhany, Irvan, Ihsan, Alif, Mansur dan tentu saja aku. Lelaki dengan segala mimpinya yang sunyi. Kami adalah The Big Family of Dangerous Class. Kelas penuh cinta di sebuah kursus bahasa asing di kota Pare.
Diantara mereka tak ada yang benar-benar tahu bahwa ada yang kembali senja ini. Aku mengintipnya diam-diam. Biarlah tak usah ada yang tahu, biar tak ada gosip baru di awal tahun yang baru. Kelak, sehabis malam satu Sura, aku ingin meminang hatinya dengan bunga Edelwis yang akan kupetik di puncak Sindoro. Gunung indah berketinggian 3.151 m yang berdiri kokoh di wilayah Kabupaten Temanggung dan Wonosobo.
“Lelaki sejati itu adalah yang berani mengetuk pintu rumahku. Memasang cicin di jari manisku di hadapan kedua orang tuaku,” kata Mawar diantara lorong Gua Surowono dua bulan silam.
Sejak saat itu, aku nelangsa menanggung beban rasa. Hatiku tak lagi utuh. Ia diam-diam telah mencurinya. Aku tertusuk matanya dan berdarah dalam dada.
Pelan-pelan, setelah mengucap doa, kue dipotong. Berbelah-belah seperti hatiku yang pernah terbelah. Senyum dan tawa begitu lepas. Menempelkan sisa kue pada wajah-wajah sang empunya pesta. Saling kejar melepas rindu. Terjatuh pun tak apa. Cinta dan kebersamaan adalah yang utama. Wajah penuh keju juga tak masalah karena yang demikian adalah cinta dari bentuknya yang baru.
Aku berdiri menatap mereka. Sesekali mencuri pandang pada Mawar. Berjaga-jaga khawatir ada yang usil mengoleskan sisa kue pada bajuku yang baru. Kami tertawa menyatu dengan alam. Usep berhasil merayu seorang perempuan untuk mengambilkan gambar kami. Lalu kami berdiri menghadap wajah langit. Mawar menatapku dengan tajam. Setajam matanya yang elang.
“Jangan menatapku setajam itu!” aku membalas tatapannya.
“Kenapa?”
Aku menunjuk langit.
“Lihat itu! Sebentar lagi matahari sempurna tenggelam di kaki langit dan petang segera datang.”
“Lalu?”
“Aku tak mau tersesat ke dalam rimbun alismu, aku takut tak menemukan jalan pulang ke hatiku. Apalagi jika harus kembali tertusuk matamu, aku tak yakin ada yang mampu mengobati lukanya selain dirimu.”
“Kenapa harus aku?”
“Lalu kenapa harus aku yang kau tatap?”
“Bukankah dulu kau sering menatapku?”
“Itu dulu sebelum aku sadar bahwa kau telah membawa pergi separuh dari hatiku.”
“Aku hanya ingin menatapmu, itu saja!”
“Jangan lakukan itu jika kau tak hendak mengembalikan sepotong hatiku yang lalu!”
Percakapan berakhir seiring hitungan ketiga dari seorang perempuan yang mengabadikan kebersamaan kami. Tak ada percakapan lagi. Ia menarik tatapannya dari wajahku. Berjalan diantara petang yang mulai beringsut gelap. Aku kembali merapatkan hati. Berharap bisa menemuinya kembali dengan sebuah janji suci.
Pare, Januari 2015
*Nama pena Latif Fianto, kelahiran Sumenep, suka membaca dan menulis, sekarang tinggal di Kota Malang.
Review This Product