Angin berdesir melambaikan padi-padiku. Burung-burung terbang mengembara di atas awan. Sementara wajah senja mulai kelihatan diantara dedaunan pohon siwalan dan kelapa. Seakan-akan sedang mengintip anak-anak yang sedang bermain layang-layang di tengah sawah bersama teman-temannya.
“Lihatlah, layang-layang itu” kata Rahman kepadaku yang sedari dari tadi ada di sampingku.
“Enak ya, jadi layang-layang bisa terbang tinggi di langit” ujarku.
“Coba kamu amati layang-layang yang paling tinggi itu. Menurutmu, layang-layang yang bisa terbang tinggi apakah karena anginnya yang kencang, talinya yang panjang atau yang membuat layang-layang itu memang orang yang ahli” ucap Rahman sambil menunjukkan pada layang-layang paling tinggi kepadaku.
Pertanyaan Rahman cukup membuat otakku lebih berputar dari biasanya. Membuatku setengah kebingungan untuk menemukan jawabannya. Sesekali, kutatap tubuh Rahman yang masih diam dengan tatapan tajam pada layang-layang paling tinggi. Sementara aku, mulai mengotak atik isi otakku sambil lalu menggaruk kepala.
Pelan-pelan, kuamati dari arah angin dan kencangnya angin yang berdesir. Lalu pada cara angin bagaimana membawa layang-layang itu bisa terbang tinggi. Setelah itu, mataku tiba-tiba tertuju pada anak kecil yang baru mau menerbangkan layang-layangnya. Ternyata, beberapa tarikan saja, saat tali itu di ulurkan lebih panjang lalu ditarik dan ditahan sebentar. Akhirnya layang-layang itu mulai tinggi.
Kejadian itu membuatku sadar. Barangkali, hidup memang seperti layang-layang. Perpaduan tiga unsur yang bisa membuat layang-layang bisa terbang tinggi di atas awan. Antara tali, angin dan cara memilih bahan yang bagus untuk membuatnya. Perpaduan itulah yang menciptakan kesempurnaan untuk melayang. Barangkali, begitu pula dengan konsep kehidupan. Seharusnya, kita mengerti tentang tiga unsur yang harus terpadu dalam hidup. Antara makna dari usaha, doa lalu pasrah.
Hatiku mulai berbunga-bunga saat menemukan jawaban itu dari seorang anak kecil yang sedang baru mau memainkan layang-layangnya untuk bisa melayang tinggi. Tak tahan rasanya ingin segera aku katakan kepada Rahman jika jawabannya sudah kutemukan. Aku mengelus bahu Rahman pelan-pelan sambil lalu menunjukkan pada sebuah layang-layang yang menjadi pertanyaannya.
“Karena adanya perpaduan antara kondisi angin, tali dan bahan untuk membuat layang-layang itu” kataku kepada Rahman.
Mendengar jawabanku Rahman hanya menganggukan kepala saja dan membalas elusan seperti yang tadi aku lakukan kepadanya sebelum menjawab pertanyaannya. Kemudian, dia menunjukkan satu layang-layang yang putus. Melayang jauh entah kemana. Barangkali terbang mengikuti kemana angin membawanya.
“Kenapa layang-layang itu bisa putus?” tanya lagi Rahman kepadaku.
Kembali kutatap layang-layang itu. Ada yang melayang tinggi dan tiba-tiba saja, ada satu layang-layang mulai tinggi melayang yang awalnya berada di urutan paling bawah. Sesampainya diatas, saat tali itu menyilang dengan tali lainnya iut terjadi akibat angin sedikit kencang. Terjadilah keduanya saling melaju untuk melayang paling tinggi. Saat seperti itu. Satu layang-layang kembali putus. Dan nasibnya, sama seperti yang tadi. Terbang melayang entah kemana.
Ternyata tidak begitu susah untuk menemukan jawaban itu. Hanya saja, saat mendengar pertanyaan Rahman cukup membuat kepalaku jadi gatal. Kejadian yang kedua ini, kembali membuatku sadar. Barangkali, hanya perlu kerukunan dalam berteman untuk sampai pada tujuan dengan tidak mengorbankan lainnya .
“Man, Itu terjadi karena kondisi angin yang kencang. Sehingga membuat keduanya bertemu dalam suatu suasana yang sama di atas dan keduanya sama-sama memiliki niatan untuk bisa terbang tinggi melebihi lainnya. Dan itu tergantung manusia yang memainkannya” jawabku lagi kepada Rahman sambil melempar senyum saat dia hanya menganggukan kepala mendengarkan jawabanku.
Sesekali kupandangi padi-padiku yang mulai tumbuh menjulang ke langit. Air Mengalir diantara barisan padiku dengan tenang. Mengalir hingga padi-padiku merasakan kesejukan dan keteduhannya. Sementara burung pipit masih bertengker diantara pohon-pohon siwalan. Barangkali dia sedang mencari kelengahanku lalu turun untuk memakan padi-padiku bersama teman-temannya.
Angin berdesir menemaniku bersama Rahman di gubuk tua yang sejak tadi di duduki. Katanya kakekku, gubuk ini sudah lama dibuatnya semenjak kedua orang tuaku memiliki tanah sawah ini. Kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Pelan-pelan mataku melirik pada senja yang mulai menatapku lebih dari biasanya. Wajahnya lebih jelas, cahayanya mulai tenang dan sejuk di pandang. Sementara aku dan Rahman saling melempar senyum pada layang-layang yang melayang jauh setelah putus dari talinya.
Malang, 2015
Mawardi Stiawan, Lahir di desa Banuaju Barat Batang-Batang Sumenep. Lulusan dari Yayasan Taufiqurran dan PP. Annuqyah kemudian melanjutkan pendidikannya di Kota Malang.
Review This Product