Membaca raut wajahmu ibu………..
Aku ingat pada malam perdamaian
ketika hangat sebuah mulut menyentuh kening
Ada
ukiran peta dibawah matamu
saat aku tanyakan tentang alasan kau menciumku?
lihat pada hari kemaren. Ketika sepanjang zaman kau menekan luka. Jawabmu
Maafkan aku ibu
bila selalu aku mencuri waktumu dengan tangis dan aduku
bila selalu aku sekat waktumu dengan rinduku
bila selalu aku tindih rasamu dengan sikapku
bilapun aku mengganggu setiap senyummu dengan ressahku
Ibuku………
mungkin aku anakmu yang paling tega meninggalkanmu disana
setelah segala yang ku mau
telah aku dapatkan
Aku mulai mengerti
kota ini memakasaku pergi dan kembali
Maafkan aku ibu
bila masih ku kotori doa-doamu
dalam hari yang terkatung tak menentu
Tetap aku adukan
pada sejarah
Dikeramaian kota ini
Aku mulai alpa segalah petuah
Ibulah peremuan sederhana yang memiliki banyak sajak dikeseluruhan tubuh.
Tak ada umpama dan ibarat dari santun muka, pada tutur bahasanya.
Perempuan yang mengajariku kesederhanaan.
Ibu,akulah itu, merpati betina yang kau beri makan sejak dulu kala,
Ingin sekali menarik nasib dari sisa tisu bekas
Saat terakhir kali mengelap muka dari comberan air dibelakang rumah
Ibu, aku mati imajinasi ketika harus menjadikanmu sajak dalam puisiku,
Engkaulah diksi, yang memiliki estetik ter tinggi pada keindahan,
Keseliruhan darimu adalah puisi, hingga membuatku salah dalam memilih diksi-diksi.
Tapi aku mulai menuang rasaku untukmu lewat ruas jari jemariku yang terkadang alpa pada paras agungmu bu……
Hari ini hari ibu,
Ucapku untukmu
Maafkan aku
Maafkanlah bu………………
Bila selalu aku kikis perasaan mu dengan keluh dan aduku
Nay Juireng Dyah Jatiningrat
Mahasiswi Unitri Malang, saat ini aktif di UKM Teater KOPI.
Review This Product