Kemala

Kemala, seorang gadis yang menyukai hujan dan dari cintanya, foto-foto di dinding kamarnya penuh dengan aroma hujan. Tidak hanya itu, lukisan-lukisan tentang hujan juga banyak di sana.Entahlah, kenapa dia begitu menyukai hujan. Yang pasti, wajahnya sepertipelangi sebelum hujan turun.


Pernah suatu hari, kudapati dia sedang bermain hujan di halaman rumahnya. Tiba-tiba dia berlari lalu menengadah ke langit. Pelan-pelan tubuhnya mulai basah. Rambutnya tergurai merambat menenggelamkan sebagian tubuhnya. Kakinya diam, seperti batu yang bisu. Dan inilah, salah satu alasan kenapa aku begitu penasaran kepadanya. 


Gadis manja yang lahir dan dibesarkan di sebuah desa yang dibatasi antara laut dan gunung. Dia hidup bersama keluarganya di tengah-tengah himpitan cuaca. Sehari-harinya, hanya menyapu ketika malam benar-benar pergi. Selebihnya, hidupnya hanya dinikmati dengan membaca dan menulis di kamarnya.

Kadang, seharian hanya mengurung diri di kamarnya. Keluar hanya sekedar mandi dan makan. Setelah itu, dia akan masuk lagi ke kamarnya. Semakin hari sikapnya semakin aneh. Entahlah, apa yang sebenarnya terjadi. Setahuku, dia gadis yang menyukai hujan. Tak lebih dan hanya itu.

Aku tahu dia gadis yang menyukai hujan sejak namaku tercatat sebagai kekasihnya. Hampir setiap hari bercerita tentang hujan kepadaku. Hubungan ini, bermula saat pertama kali bertemu di pantai yang tidak begitu jauh dari rumanya. Itulah awal kisahku bersamanya. 

Hidupku mulai terasa berwarna. Banyak cerita yang kutemukan di setiap lembar-lembar hariku. Pada senyumnya yang telanjang. Seperti lukisan yang yang bertinta cat. Lekat melekat sepanjang ingatan. Di rambutnya yang panjang. Aku tertidur pulas pada rasa yang lain. Sementara pada tuturnya. Hatiku lumpuh. Rapuh pada kisah yang tak bersatu.

Daun-daun mulai berguguran di halamanku. Burung terbang kesana-kesini. Begitu pula orang-orang di sekitarku mulai sibuk dengan aktifitasnya di musim hujan. Rerumputan mulai tumbuh pelan-pelan. Bunga-bunga yang layuh mulai satu persatu mekar. Lagi-lagi, barangkali karena kali ini sedang musim hujan.

Sementara aku mulai sibuk mempersiapkan diri untuk kuliah nanti. Hanya menunggu hitungan hari. Aku akan berangkat ke kota untuk meneruskan dunia pendidikanku. Aku ingin menikmati kisah tuhan yang telah di tuliskan kepadaku termasuk dalam kisah cintaku kali ini. Menikmati segala yang sekarang kumiliki. Meski pada akhirnya, kisah tuhanlah yang lebih indah dari cerita yang kubuat.

Sebagai anak yang terlahir di desa. Aku merasakan betul bagaimana hidup disana. Budaya dan rasa saling memiliki begitu kuat. Selain dari itu, meski sebagai anak desa aku juga berhak memiliki banyak mimpi yang mesti kuwujudkan. Bukankah hal terpenting dalam hidup adalah seberapa kuat hati untuk mewujudkannya. Dan ini akan menjadi ceritaku setelah pulang nanti pasti kuceritakan kepada kekasihku. Betapa indahnya mewujudkan mimpi itu. Walau harus berkorban keringat bercucuran menyelimuti tubuh.

Dan kemalalah, gadis yang selalu membuatku begitu bergairah dan percaya diri. Dia selalu mengajariku bagaimana memelihara hati. Gadis manja yang menyukai hujan dialah kekasih pertamaku. Orang yang pertama mengenalkanku pada arti hati. Sekali lagi, dialah kemalaku. Kemala, kekasihku.

Menjelang keberangkatanku ke kota. Tiba-tiba kulihat sosok tubuh, pelan-pelan melangkah mendekatiku. Wajahnya tidak asing lagi ketika dia berdiri tegak di hadapanku. Lalu memberikan amplop kepadaku.

“Ki, ini ada kiriman dari Kemala. Aku langsung pamit pulang soalnya masih mau kerumah kakek diajak ibu malam ini” aku hanya menganggukkan kepala lalu dia membalikkan tubuhnya dan terus berjalan. Kupandangi dia sampai akhirnya hilang dalam mataku. 

Aku langsung melangkah menuju ke kamar. Dengan hati dilanda penasaran membuat jantungku berdetak lebih kencang. Tidak biasanya dia mengirimkan surat lewat orang lain atau temannya. Sesampainya di kamar. Lalu ku tutup pintu itu dan pelan-pelan kubuka isi dari amplop kiriman dari Kemala dan isinya begini,

Kita tidak akan pernah tahu apa yang terbaik untuk kita. Begitu pula dengan cinta. Tetapi aku masih yakin, kelak kita akan sampai pada jalan kepulangan. Aku tahu, mungkin kamu akan terkejut dengan kedatangan surat ini yang kutitip kepada temanku. Sebab, aku tidak ingin melihat airmatamu. Aku ingin mengenangmu sebagai lelakiku yang periang sebagaimana kemarin ketika ketemu di pantai. Kita anggap saja, itulah kenangan terakhir kita.

Aku berterima kasih kepada tuhanku. Sebab, bersamamu aku menemukan ketenangan hati seperti saat aku sedang rindu dengan tuhanku. Sungguh, kamu lelaki terbaik yang pernah mengisi hari-hariku. Aku juga tahu, dan bahkan mengerti. Setiap jalan perpisahan pasti akan terluka. Dan aku tidak ingin membuatmu terluka lebih lama.

Aku hanya ingin melihat kamu sukses diluar sana. Aku hanyalah seorang gadis manja yang menyukai hujan. Sebab bagiku, hujan adalah kenangan. Dan aku tidak ingin ada hujan di matamu setelah kamu membaca suratku. Aku ingin melepasmu terbang tinggi sebagaimana mimpi-mimpi yang hendak ingin kamu miliki. 

Aku percaya, suatu saat kamu pasti akan menemukan gadis yang lebih baik. Dan aku selalu berdoa untukmu. Namamu, tetap kuingat dalam ingatanku. Selamat jalan, lelakiku. Jaga diri baik-baik. Sebagai anak yang baik. Kamu pasti bisa jalani ini tanpa namaku. Dari Kemala”.

Sejak kejadian itu, aku dilema antara berangkat dan tidak. Mimpi yang sudah tertata tiba-tiba hilang dalam ingatanku. Yang dapat kuingat kali ini, hanyalah wajah Kemala dan kedua orang tuaku. Ternyata bukan hanya Kemalalah yang menyukai hujan. Tetapi, termasuk juga diriku. Hujan seringkali kali turun di mataku ketika awan diingatanku mengingatkanku pada sosok Kemala.

Kadang aku berpikir, dan barangkali memang benar. Apa yang menurut kita baik, belum tentu menurut tuhan baik. Sebab, dalam hidup kita hanya di hadapkan dua hal antara bahagia dan terluka. Dan kita hanya perlu meluangkan hati untuk menikmati segalanya. Agar terasa indah dirasakan. Dengan terluka, hati akan terasah.

Pada akhirnya, kakiku melangkah meski tidak setegar tiang lampu di jalan-jalan raya. Aku berangkat membawa luka dan sejuta harapan. Terluka karena kehilangan sosok Kemala dan harapan dari seorang yang dengan sabar merawatku. Tak ada yang perlu di sesali. Perjalanan hidup hanya sekali dan tak kan terulang kembali.
Hari-hari berikutnya, aku percaya, bahwa cerita akan indah bila pada waktunya. Hanya soal waktu, kapan semuanya akan terjadi. Dan aku juga tidak lupa sebagai anak desa. Bahwa, hidup bukan hanya berkeluh kesah. Melainkan panggung untuk berkarya. Aku ingin menikmati segala bentuk pertunjukan dalam panggung hidup. Entah sebagai tokoh terluka maupun bahagia.

Bagiku, cukup tuhanlah tempat aku bercerita. Aku ingin mengutarakan segala hal dalam hidupku. Tak ada yang perlu di salahkan. Sebagai manusia. Siap atau tidak kita pasti akan bahagia dan terluka. Sebab, seringkali apa yang kita miliki belum tentu milik kita seutuhnya.

Dan untukmu, Kemanala. Ternyata aku baru sadar dan tak perlu merasa heran lagi dengan hujan. Kita akan tumbuh dan besar menikmati masing-masing hujan. Hujan kemarin malam benar-benar membuat kelopak mataku banjir hingga kunyup basah di pipiku. Tubuhku gigil dalam sebuah ingatan. Sementara kedua bibirku hanya mampu tersenyum ketika hujan datang kembali.

Sebelum kita benar-benar saling melupakan. Ada satu hal yang ingin aku sampaikan kepadamu. Entahlah, kelak catatan ini akansampai ke tanganmu atau tidak. Aku hanya inginmenulis saja. Tak lebih dan hanya itu. Bunyinya begini,

Kemala, bila kelak kita tidak menemukan hujan lagi. Bukan berarti semuanya telah pergi. Aku tersungkur dalam tadarus panjang. Di mataku, aku kehilangan jejak.

Kemala, tersenyumlah. Aku ingin ternggelam didalamnya. Meleburkan segala rindu. Mentasbihkan namamu atas nama cinta. Maka, lakukanlah, biar kupetik bulan pada malam-malammu.

Hujan kita adalah jalan kenangan. Waktu telah sampai pada jalan kepulangan. Kau dan aku. Kini bersama hujan yang lain.

Setelah kutulis sajak ini, lalu aku benar-benar tenggelam. Mengantarkanku pada ranjang harapan dan aku berbantal doa dari seorang ibu. Tiba-tiba, mataku terlelap dan semuanya menjadi hitam dan gelap.

Sumenep, 2015

Oleh: Lucky Xian Qi lahir di Sumenep. Siswa kelas akhir  di SMA 1 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep.


Related product you might see:

Share this product :

Review This Product

Hot Articles

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template | Redesigned : Tukang Toko Online
Copyright © 2011. Ayo Belanja.com - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger