Air Terjun Putri Nglirip

Aku juga ingin sepertimu, berdiskusi tentang kisah warna-warni desamu. Yang kau tulis dari sederetan huruf-huruf kusam yang terlempar di jalanan. Kau pungut menjadi sederetan kalimat indah. Kau buat aku kagum, dari gigi gingsulmu hingga ke akar pohon cherry di halaman samping rumahmu.


Aku masih ingat, seminggu yang lalu, kau berkisah tentang pesona air terjun Nglirip yang alirannya jatuh di atas bebatuan karang. Seperti tumpahan salju, putih dan sejuk. Kau pun berkisah tentang desiran angin senja di setiap jejak pantai Boom.

Dari matamu yang berbinar, aku bisa melihat pesona itu. Ya, pesona ceritamu hingga gedung-gedung tinggi serupa robot penghancur batu bara. Dari pertemuan-pertemuan parsial hingga menjadi kisah cinta meski gagal berakhir di pelaminan.

“Ini pabrik Semen Gresik.”

Sepertinya kau mengerti kebingunganku.

“Besar sekali.”

“Yang kau lihat itu masih separuh, di sebelah kirimu masih ada lagi.”

“Senyap, aku tidak menemukan deru mesin di sini.”

Aku mendongakkan kepala. Mengukur ketinggian gedung-gedung yang dihubungkan oleh terowongan. “Itu terowongan apa yang di atas?”

“Itu lorong penggerak batu bara untuk dihancurkan menjadi pasir seperti itu.”

Jari telunjukmu mengarah pada pasir berwarna hitam legam di seberang jalan, bertumpuk-tumpuk membentuk gundukan kecil, semacam baris bebukitan yang dipeluk sepi. Teronggok kaku di bawah gedung-gedung menjulang yang dihubungkan oleh terowongan kecil menggantung. Macam jembatan layang. Bukan. Jembatan layang tak pernah terbungkus rapi seperti itu. Ini semacam terowongan bawah tanah. Bedanya, terowongan-terowongan kecil itu mengantung, seperti jalan-jalan eksotis di bumi eropa.

Aku tidak menyangka, gedung pabrik semen ini seperti gedung apartemen. Di pinggir jalan yang membelah gedung besar itu, pohon-pohon besar tumbuh menghijau. Udaranya sejuk. Debu seperti terserap menyatu dengan alam.

Di setiap tatapan menuju rumahmu, aku memandang bongkahan-bongkahan tebing yang bisu. Cukup mencolok di antara pepohonan yang tumbuh, bergoyang. Di bawahnya mengalir aliran air sungai entah kemana berujung muara. Aku ingin menyeberang, lalu mendaki gunung itu yang terbentang dari barat ke timur.

“Maukah kau mengantarku mendaki gunung itu? Aku ingin berjalan menyisir di atasnya.”

Ah kau gila! Di bawahnya aliran sungai tak tentu volumenya, kadang surut kadang juga pasang macam samudera.”

“Itulah dia, aku ingin merasakan nikmatnya bergelayut di permukaan air sungai.”

“Kau ingin mati ya?”

“Tidak. Aku ingin mendaki, memenuhi gelora hasrat.”

“Jangan gila! Aku saja belum pernah naik ke sana.”

“Astaga! Kau tak tau rasanya berdiri di atas sana, kau bisa melihat rerumputan terbentang, dari lembah terendah hingga ke bukit permata, juga nikmatnya berdiri di atas gunungmu sendiri.”

Kau mencubit pinggangku, disusul tawa renyah nan manja. Kedua tanganmu semakin erat melingkar di pinggang. Dari depan, aku merasa ada sesuatu yang menempel, ketat rapat. Semakin lama semakin bergetar, darah berdesir, menahan tekanan hebat yang bersumber dari dadamu. Motor melaju kencang. Menerobos debu dan angin yang kerap kali menyiumi wajah.

“Awas jangan nakal ya nanti sampai di rumah!”

Sekali lagi kau mencubit pingganggu. Ah, rasanya senikmat seruling gembala.

Aku tidak mungkin berbuat macam-macam di rumahmu. Rumah itu adalah rumah orang tuamu, calon mertua dan calon orang tuaku juga kelak. Aku ingin menjadi tamu yang baik. Masuk rumah mengucap salam, memegang dan mencium punggung tangan mereka. Membantu ayahmu mencampur pupuk. Lalu dibawa ke sawah untuk ditabur pada pepadian yang baru sepuluh hari ditanam.

Liburan yang mengesankan. Hari kedua, kau mengajakku mengunjungi air terjun Nglirip. Kau mungkin benar-benar ingin membuktikan kisah yang dulu pernah dituturkan padaku. Dan di bawah terik matahari, kau benar-benar mengabulkan keinginanku mengunjungi air terjun, yang katamu berdaya magis itu.

Siang yang menyengat. Seperti mula-mula kita berangkat, kau merapatkan dadamu tepat di belakangku. Menekannya pada tubuhku, mencipta ketegangan yang lain di tengah terik.

Rumahmu benar-benar serupa surga. Pepohonan tinggi nan hijau tumbuh dimana-mana. Selepas tikungan tajam kita memasuki terowongan. Semacam lorong belahan dadamu, yang sekali tatap langsung memabukkan. Lalu aku tiba-tiba terbangun sudah tanpa sehelai baju pun di sampingmu. 

Hanya selimut putih yang menutupi, yang ternyata hanya dalam mimpi.

Selepas terowongan, kita melintasi hutan jati. Di samping kiri-kanan jalan, beribu-ribu macam sayur dan tanaman tumbuh. Terlihat sebesar ujung kuku diantara pepohonan jati yang menjulang saling bersikutan.

Pada putaran tikungan berikutnya, setelah menyisir tebing dan jurang yang menghampar di sebelah kiri, aku dipertemukan pada keelokan alam surgawi. Air Terjun Nglirip dengan sekian keindahannya berada tepat di depan mata.

Ini benar-benar nikmat Tuhan yang tiada tara. Keindahan alam yang tidak kutemui di beranda kota.

Setelah membayar tiket masuk seharga tiga ribu, kita menyusuri jalan menurun tajam. Lalu belok ke kiri melewati jalan setapak.

“Janji ya hanya melihatnya dari atas?”

“Iya janji, aku akan patuh pada instruksimu.”

Kita berjalan semakin mendekati air serupa salju yang jatuh dari tebing. Angin terhempas kencang, membentur bulir-bulir air, terpental. Mengalunlah senandung semesta, sepanjang waktu sepanjang malam, semacam seruling tak berkesudahan. Ribuan bulir bening air jatuh ke dasar tebing, membentuk telaga kecil yang memikat. Di atas permukaan air, lengkungan pelangi tercipta dari benturan cahaya dan kilau air. Mataku berbinar, alam benar-benar sedang berbaik hati.

“Lihatlah, ada pelangi.” Aku menunjuk tujuh warna berbeda, melengkung dari garis cahaya turun ke tengah sungai.

“Iya, sepertinya ada bidadari yang sedang mandi.”

Ah itu dongeng. Paling juga ada putri yang sedang mandi.” Aku tertawa dengan mata bulat dibakar pesona.

Kok tahu?”

“Mungkin saja. Kau percaya saja sih, mana ada putri yang mau mandi di sungai.”

Aku mencoba menapaki tangga menurun yang terbuat alami dari tanah. Turun ke bawah menuju ke dasar air itu jatuh. Ingin mendekatkan diri pada lengkungan pelangi. Aku berdiri di bibir, tepat di sisi paling luar sebuah batu karang. Air menjilat-jilat menggapai jari-jari kaki. Tangan kananku berusaha menggapai lengkungan pelangi. Tapi tak juga sampai, hanya menyibak udara kosong.

“Pandu, apa aku bilang, jangan turun!”

Kau berteriak. Matamu membulat, memarahiku. Air wajahmu tak tersirat guratan bercanda. Aku hanya tersenyum, kau terlihat sangat cantik kalau sedang marah. Tapi kau sudah tahu, aku adalah lelaki dengan segala impian dan hasrat. Aku ke sini ingin memenuhi dahaga hasrat. Menelanjangi seluruh tubuh alammu yang elok.

Aku sudah terlanjur terpesona. Sekali lagi berusaha menyentuh lengkungan pelangi. Kemudian menyeruaklah bau aneh; bau anyir darah, amis, bau dupa, dan juga bau surga. Sulit meraba mana dupa, mana kemenyan.

“Turunlah! Nikmati saja yang ada, mungkin hanya sekali kita merasakannya.” Aku berteriak. 

Suaraku menggema, menerobos dinding tebing.

“Pandu, kau jangan macam-macam, ayo cepat naik lagi!”

“Ayolah, atau ambilkan gambarku pakai kameramu! Sebentar saja.”

Kau merengut. “Baiklah, tapi setelah itu naik ya!”

Aku menjemputmu yang masih berdiri di atas, di sebelah tangga. Memegang tanganmu dengan sangat hati-hati, sebab tanahnya terlihat licin walau tidak turun hujan.

“Pandu, ayo cepat naik, kita pulang!”

Kau memanggilku dengan mata melotot, beberapa detik setelah berfoto. Air wajahmu masih sama, marah dan mengiginkanku untuk bergegas pulang.

“Iya, sebentar lagi, kau naik duluan saja!”

“Tidak mau, ayo kita naik sama-sama!”

Waktu kau mengajakku naik untuk pulang, aku masih terpesona dengan pelangi yang melengkung di atas air. Sepertinya pelangi itu menyambut jejatuhan air terjun sebelum jatuh ke permukaan sungai. Samar-samar sebuah suara yang lebih halus dari bisik angin memanggilku. Lebih lembut dari tetek ibu.

Tiba-tiba, di bawah garis pelangi yang melengkung itu, seorang perempuan merendam diri dalam air. 

Rambutnya yang gelap basah, wajahnya yang cantik hingga ke bawah, pada separuh dadanya yang putih menyembul di atas permukaan, sementara separuh bawah dadanya hingga ke kaki dibiarkan mengayun-ayun di dalam air, di antara bening air yang kehijauan, masih terlihat jelas pahanya yang bercahaya. Perempuan itu mirip putri kerajaan. Gaunnya ditanggalkan di atas batu besar yang mencuat di tengah sungai. Ia menyiramkan air ke wajah, pelan-pelan tangannya turun ke bawah, ke belahan dada, lalu mengangkat jari-jari kakinya yang lentik.

Mataku benar-benar terkunci, tak ingin sedikit pun memalingkan pandang. Hanya laki-laki bodoh yang pura-pura tidak melihat pemandangan itu. Semakin lama menatapnya, mataku semakin larut ke dalam keindahannya. Tubuhnya mendekat, tangannya menggenggam tanganku. Aku mengikutinya di belakang, beberapa kali menelan ludah. Lelaki mana yang sanggup menahan gejolak, menatap perempuan tanpa menyaungkan satu helai benang pun di tubuhnya.

Aku tercekat macam bayi, mau saja ikut menuju ke tengah sungai, ikut merendam diri tepat di bawah lengkungan pelangi itu.

“Pandu…”

Seketika kau berteriak histeris memanggil. Samar-samar dalam sadar, pusaran arus sungai melingkar, melengkung ke bawah membentuk corongan. Seperti aliran air yang diaduk dalam ember, arusnya kuat mengikat tubuh. Aku tersedak. Air memenuhi seluruh ruang kosong di dalam perut. Tubuhku terseret, tenggelam. Ah tidak, bukan terseret tapi sengaja diseret, mungkin oleh tangan-tangan seram makhluk penghuni air tawar.

“Alra, tolong aku! Aku tidak mau mati sekarang! Tolong aku, Ra!”

“Pandu…”

Kau berusaha menggapai tanganku yang mencari pegangan untuk bertahan. Setelah teriakanmu yang terakhir, aku sudah tidak mendengar suaramu lagi. Pusaran arus sungai yang melingkariku terlalu kuat untuk dilawan. Semakin lama aku lemas, pusaran itu semakin membawa tubuh ke dasar sungai. 

Aku lunglai.

Tak ada kerikil dan suara jejatuhan air. Hanya suara bisikan halus yang menyentuh gendang telinga. Aku berada di dalam kamar model kerajaan jaman dulu. Tidak tahu apa yang terjadi, tiba-tiba aku sudah berpakaian serba putih, tipis sekali.

Bau sesajen dan anyir darah tajam menusuk hidung. Di pojok kamar, tiga lilin menyala. Di sebelah lilin, dupa dibakar, di atasnya mengepul asap putih memenuhi kamar. Tak ada yang kutemui. Seperti tidak ada penghuni sama sekali. Ketika itu, aku merasakan rindu yang sangat luar biasa padamu. 

Alra, aku takut. Aku ingin pulang.

Asap-asap mengepul dari dupa, menumpuk di depan lilin. Semakin lama semakin rapat, padat menjelma sesosok tubuh. Ia membelakangiku, rambutnya hitam terurai panjang. Mula-mula aku berharap itu kamu, Ra. Nyatanya, tubuh itu serupa perempuan yang tadi mandi di tengah sungai. Ia tersenyum dan mendekat, menghampiriku yang terbaring di atas ranjang. Sama sepertiku, ia hanya mengenakan baju terusan berwarna putih tipis. Aku terpesona dengan segala lekuk yang ada di baliknya.

“Jangan takut, aku putri Nglirip.”

Ia duduk di pinggir ranjang. Menyentuh pipi dan bibirku. Kulit jari-jarinya sehalus sutra. Seperti bidadari, parasnya cantik mempesona. Bibirnya serupa rubi, basah meloni. Ia merendahkan wajahnya ke bawah, dekat dengan wajahku.

Dari matanya, aku bisa melihat kenapa kau begitu keras melarangku turun ke bawah, mendekati pelangi dan jejatuhan air terjun itu. Kau takut aku tergelincir dan tenggelam ke dasar sungai. Lalu hilang seperti peristiwa-peristiwa misterius sebelumnya yang terjadi setiap tahun. Anehnya, yang tergelincir dan hilang tak kembali selalu menimpa laki-laki sepertiku, yang tak lahir dari rahim desamu. Tapi rasanya tadi aku tidak tergelincir, aku turun sendiri menyambut uluran tangan perempuan itu.

Alra, perempuan itu menindih tubuhku, bernafsu ingin segera menelan keperjakaanku. Jarak antara wajahku dan wajahnya tidak ada satu inci, dekat sekali. Aroma nafasnya bau kemenyan yang dibakar, susul menyusul dari hidung dan mulutnya tiada henti. Detik berikutnya, desah nafas saling memburu, berkejaran dengan nafsu.

Saat itu, aku seperti berada di surga, Ra. Dipeluk bidadari, dekat sekali dengan sang pencipta. Aku mati, kau pergi. Aku terbuang, kau menghilang. Menyisakan luka dan kenangan yang terkubur dalam-dalam.

Latif Fianto
Lahir di Sumenep, pecinta buku, suka membaca dan menulis, Mantan Ketua Komisariat PMII Country Unitri malang periode 2013-2014 dan sekarang tinggal di Malang.

Cerpen ini dimuat di Radar Surabaya pada tanggal 3 Mei 2015.

Related product you might see:

Share this product :

Review This Product

Pages (25)1234567 Next

Hot Articles

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template | Redesigned : Tukang Toko Online
Copyright © 2011. Ayo Belanja.com - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger